Filsafat Ilmu Lanjutan
DOUBLE RELATIONSHIP: ANALISIS Vs SINTESIS
I. PENDAHULUAN
Topik ini pada hakikatnya memiliki keterkaitan sangat erat dengan topik-topik lain dalam bahan ajar ini. Muhajir (2007) mengatakan bahwa tradisi keilmuan dan teknologi yang berkembang sekarang adalah tradisi yang tumbuh dari sistem logika yang berkembang dari Yunani (dengan tokoh-tokoh besarnya Socrates, Plato, dan Aristoteles), dilanjutkan dengan logika renaissans Arab (yang berkembang dari Al Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd), diteruskan dengan logika renaissans Eropa (yang berkembang dari empirisme John Locke), menjadi ilmu dan teknologi mutakhir (yang berkembang dari Wittgenstein ke pragmatisme Peirce, ke Fenomenologi Hubserl, sampai dekonstruksi Loytard)
Dalam tradisi sistem logika tersebut di atas unsur utama adalah rasionalitas dan empiri. Rasionalitas menjadi unsur pertama untuk berilmu pengetahuan, dan empiri menjadi unsur keduanya. Menurut Muhadjir (2007)
rasionalitas atau berperannya rasio atau akal manusia yang mampu membuat abstraksi dan konsep atas banyak empiri menjadi penting; dan selanjutnya mampu membuat analisis dengan prosedur kerja yang raional dan konsisten, dan akhirnya mampu membuat pemaknaan atas tumpah-ruahnya empiri yang dihadapi, menjadi produk ilmu. Di sisi lain, empiri merupakan pengalaman keseharian manusia; dalam bahasa paling elementer disebut fakta atau kenyataan (lihat Suriasumantri, 2006).
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa rasio dan empiri merupakan dua perangkat atau unsur dasar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Untuk mendayagunakan dua perangkat atau unsur itu seorang ilmuwan menggunakan analisis dan sintesis (lihat Kallsoff (2004). Bab ini mencoba memberikan pembahasan umum tentang analisis dan sintesis dalam kaitannya dengan usaha mengembangkan ilmu pengetahuan. Untuk itu, subtopik yang disajikan meliputi
(1) hakikat metode analisis dan sintesis,
(2) double relationship (relasi ganda) dalam metode analisis dan sintesis,
(3) metode analisis dan sintesis dalam pendekatan ilmiah, dan
(4) implikasinya bagi teori ilmiah.
II. HAKIKAT METODE ANALISIS DAN SINTESIS
1. Hakikat Metode Analisis
Secara etimologis, kata „analisis‟ yang dalam bahasa Inggris „analysis‟ berasal dari leksem bahasa Yunani analyein (gabungan morfem ana- dan lyein) berarti „melonggarkan‟ atau „memisahkan‟ (memisahkan keseluruhan menjadi bagian-bagian).
Dalam kamus Meriam-Webster (2009: CD-ROM version), kata „analisis‟ memiliki beberapa dimensi makna. Dua di antaranya yang berkaitan dengan filsafat dimaknai dengan “a method in philosophy of resolving complex expressions into simpler or more basic ones” (metode dalam filsafat yang menguraikan ungkapan yang rumit ke dalam bentuk yang lebih sederhana atau yang lebih mudah) dan “clarification of an expression by an elucidation of its use in discourse” (klarifikasi ungkapan dengan cara menjelaskan penggunaannya dalam wacana).
Selain itu, dalam konteks kebahasaan, „analisis‟ dimaknai sebagai penyederhanaan bentuk kata dengan memisahkan akar kata dari imbuhannya sebagai salah satu metode bedah bahasa. Istilah “analisis” menurut Kallsaff (2004) adalah “perincian”. Selanjutnya ditegaskan oleh Kallsaff, bahwa di dalam filsafat analisis berarti perincian istilah-istilah atau pernyataan-pernyataan ke dalam bagian-bagiannya sedemikian rupa sehingga kita dapat melakukan pemeriksaan atas makna yang dikandungnya.
Dalam perspektif lain “analisis” merupakan kemampuan mengidentifikasi, memisahkan, dan membedakan komponen-komponen atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesis, atau kesimpulan, dan memeriksa setiap komponen tersebut untuk melihat ada atau tidaknya kontradiksi. Dalam tingkat ini seseorang diharapkan menunjukkan hubungan di antara berbagai gagasan dengan cara membandingkan gagasan tersebut dengan standar, prinsip, atau prosedur yang telah ditentukan..
Kata kerja operasional yang biasa digunakan adalah: membedakan dan mendiskriminasikan, mendiagramkan, memilih, memisahkan, membagi-bagikan, mengilustrasikan, mengklasifikasikan. Analisis merupakan bentuk kegiatan logika yang menyarikan kebenaran konkret suatu proposisi, dan memusatkan perhatian mula-mula dan terutama pada forma lugasnya (yang pada dasarnya matematis), yaitu nilai kebenarannya (Palmquist, 2000).
Jika analisis dikategorikan sebagai metode berpikir dalam mengungkapkan pengetahuan dan kebijaksanaan, maka tentu di dalamnya terdapat serangkaian fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang digunakan untuk menguraikan ataupun menyederhanakan ungkapan atau hasil pemikiran.
Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menjelaskan setiap entitas yang dikandung dalam ungkapan pemikiran dan perasaan manusia. Dalam filsafat analitik (positivisme), “analisis” menurut Muhadjir (2007) berarti menguraikan segala sesuatu sampai unit sekecil mungkin.
Di sisi lain, dirumuskan oleh Russel (1997) dengan pernyataan: Dalam percobaan yang dilakukan secara serius, tidaklah selayaknya kita tempuh dengan menggunakan bahasa biasa, sebab susunan bahasa biasa itu selain buruk, juga bermakna ganda. Oleh karena itu saya bermaksud meyakinkan bahwa sikap bersikeras atau kepala batu untuk tetap menggunakan bahasa biasa dalam mengungkapkan pemikiran kita adalah penghalang besar bagi kemajuan filsafat.
Oleh sebab itu, tidak heran jika Russel menentukan titik tolak pemikirannya berdasarkan bahasa logika. Hal ini terjadi karena ia berkeyakinan bahwa teknik analisis yang didasarkan pada bahasa logika itu dapat menjelaskan struktur bahasa dan struktur realitas. Hal ini relevan dengan anggapan Descartes (dalam Honer dan Hunt, 2006) bahwa pengetahuan memang dihadirkan oleh indra, tetapi karena dia mengakui bahwa indra itu bisa menyesatkan (seperti dalam mimpi dan khayalan), maka dia terpaksa mengambil kesimpulan bahwa data keindraan tidak dapat diandalkan. Analisis logis mengandung pengertian, suatu upaya untuk mengajukan alasan a-priori yang tepat bagi pernyataan.
Dengan cara yang demikian, Russel (1997) menerapkan teknik analisis bahasa untuk memecahkan masalah filsafat. Akan tetapi, Russel lebih mendahulukan analisis logis daripada sintesis logis, karena teori yang terlalu empirik (didasarkan atas fakta) tidak dapat menjangkau hal-hal yang bersifat universal. Ia memperkenalkan istilah data indrawi untuk hal-hal seperti warna, bau, kekerasan, kekasaran, dan seterusnya dan mengundang kesadaran kita dengan sense datum a (of?) sensation (sensasi akan data indra). Russel membedakan antara apa yang disebutnya dengan pengetahuan dan pengenalan, serta pengetahuan dan deskripsi. Ia berargumen bahwa kita tidak secara langsung berkenalan dengan objek-objek fisik tetapi menyimpulkan objek-objek seperti meja, pohon, anjing, rumah, dan orang-orang dari data indrawi. Kesulitannya di sini ialah bagaimana inferensi dibuat dari data indrawi untuk sebuah entitas yang memenuhi penjelasan common sense tentang objek fisik. Bagi Russel kebenaran bersifat logis dan matematik yang diungkapkan dalam analisis logis “meyakinkan kita untuk mengakui keperiadaan sifat-sifat „universal‟ yang tak terubahkan, padahal banyak teori yang bersifat empirik murni tidak dapat mempertanggungjawabkan hal seperti itu.
Sejalan dengan pandangan Russel, kritikus kaum empirik menunjukkan bahwa fakta tidak mempunyai apa pun yang bersifat pasti.
Fakta itu sendiri tidak menujukkan hubungan di antara mereka dan pengamat yang netral. Jika dianalisis secara kritis maka ”pengalaman” merupakan pengertian yang terlalu samar untuk dijadikan dasar bagi sebuah teori pengetahuan yang sistematis (Honer dan Hunt, 2006).
Merujuk pada penjelasan di atas, analisis pada akhirnya dimaknai sebagai kegiatan berpikir yang melakukan perincian terhadap istilah-istilah atau pernyataan-pernyataan ke dalam bagian-bagiannya agar dapat menangkap makna yang dikandungnya atau memahami komponen terlebih dahulu kemudian menguraikan komponen. Berkaitan dengan itu, penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan. Jadi tidak salah kalau ada yang menyatakan bahwa analisis adalah gerbang logika.
2. Hakikat Metode Sintesis Pada bagian terdahulu kita telah membahas “metode analisis” yang menurut Kattsoff (1986) bertentangan dengan ”metode sintesis.” Istilah sintesis secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani syntithenai (syn- + tithenai) yang berarti „meletakkan‟ atau „menempatkan‟ (Meriam-Webster Dictionary, 2009). Lebih lanjut, dalam sumber yang sama, entri sintesis diartikan sebagai komposisi atau kombinasi bagian-bagian atau elemen-elemen yang membentuk satu kesatuan. Selain itu, sintesis juga diartikan sebagai kombinasi konsep yang berlainan menjadi satu secara koheren, dan penalaran induktif atau kombinasi dialektika dari tesis dan antitesis untuk memperoleh kebenaran yang lebih tinggi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) sintesis diartikan sebagai “paduan berbagai pengertian atau hal sehingga merupakan kesatuan yang selaras atau penentuan hukum yang umum berdasarkan hukum yang khusus.” Pengertian ini sejalan dengan pendapat Kattsoff (1986) yang menyatakan bahwa logika sintesis adalah kegiatan berpikir logis yang melakukan penggabungan semua pengetahuan yang diperoleh untuk
menyusun suatu pandangan atau konsep.
Lebih lanjut dikatakan oleh Kallsaff, maksud sintesis yang utama adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun suatu pandangan dunia. Dalam perspektif lain “sintesis” merupakan kemampuan seseorang dalam mengaitkan dan menyatukan berbagai elemen dan unsur pengetahuan yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih menyeluruh.
Kata kerja operasional yang dapat digunakan adalah mengategorikan, mengombinasikan, menyusun, mengarang, menciptakan, mendesain, menjelaskan, mengubah, mengorganisasi, merencanakan, menyusun kembali, menghubungkan, merevisi, menyimpulkan, menceritakan, menuliskan, mengatur. Sintesis merupakan bentuk lain dari kegiatan atau metode berpikir. Secara sederhana, Russel menyatakan bahwa sintesis logis berarti menentukan makna pernyataan atas dasar empirik. Meskipun demikian, kebenaran proposisi Russel perlu dianalisis dengan membedah pengertian yang dikemukakan.
Dari hasil penelusuran melalui Wikipedia (2009) diperoleh informasi bahwa analisis mempunyai arti luas dan dapat dipergunakan dalam bidang fisika, ideologi, dan fenomenologi. Di sisi lain, menurut Kattsoff (1986) agaknya jauh lebih rumit untuk menggambarkan sintesis dalam filsafat, karena tiadanya contoh-contoh singkat yang dapat dikutip. Pada zaman modern, sistem yang paling ringkas serta paling besar adalah sistem yang disusun oleh Hegel, seorang filsuf Jerman.
Karya Hegel merupakan usaha untuk mencakup segenap kenyataan dalam suatu sistem yang meliputi segala-galanya, juga meliputi susunan pengetahuan manusia. Bertolak dari pengertian tentang ”yang ada-yang murni” (pure being), Hegel berusaha menyimpulkan gagasan tentang metafisika, alam fisik, manusia, masyarakat, dan bahkan gagasan agama, serta filsafat. Hegel menyempurnakan konsep dialektika dan menyederhanakannya dengan memaknai dialektika ke dalam trilogi ”tesis, antitesis, dan sintesis”. Menurut Hegel tidak ada satu kebenaran yang absolut karena hukum dialektika. Yang absolut hanyalah semangat revosionernya (perubahan / pertentangan atas tesis oleh antitesis menjadi sintesis). III. DOUBLE RELATIONSHIP (RELASI GANDA) METODE ANALISIS vs SINTESIS
Istilah “analisis” dan “sintesis”, sebagai label pembedaan metode argumentasi antara yang deduktif dan induktif setidak-tidaknya seusia dengan Euklides. Dalam Elements-nya, Euklides menerangkan sejelas-jelasnya bahwa dua metode ini sebaiknya tidak dipahami sebagai saling terpisah, tetapi saling melengkapi. Metodenya memperlihatkan ketepatan teorema-teorema geometrisnya dengan mula-mula menggunakan metode argumentasi analitik (deduktif), dan kemudian mendukung simpulannya dengan penalaran sintetik (induktif). Proses praktis penyusunan deduksi (berlawanan dengan bentuk tertulisnya) berawal dengan perumusan suatu simpulan, lalu pembuktiannya dengan pencarian dua atau lebih asumsi yang benar yang bisa berfungsi sebagai landasannya. Proses induksi berawal dengan pengumpulan potongan-potongan bukti empiris, lalu ini digunakan sebagai landasan untuk menarik kesimpulan. Jika logika analitik menawarkan kejelasan pengindraan (yakni keluasan pengetahuan), logika sintetik menawarkan kejelasan wawasan (yakni kedalaman pemahaman). Bila dimanfaatkan dengan tepat, kedua jenis logika itu tidak perlu dianggap bersaingan, tetapi seharusnya dipandang saling melengkapi, sebagaimana deduksi dan induksi yang bisa digunakan secara efektif sebagai metode-metode argumentasi yang saling melengkapi (atau bersifat komplementer). Salah satu cara terbaik untuk menggambarkan pertalian komplementer ini adalah mengaitkannya dengan pembedaan yang kita pelajari dari Kant, antara kawasan pengetahuan-nirmustahil dan kebodohan-pasti. Logika analitik dapat digunakan untuk menghasilkan pengetahuan kapan saja bilamana yang terpikir dipaparkan di dalam tapal batas transendental (umpamanya, sesuatu yang dapat kita lihat). Akan tetapi, begitu kata-kata untuk memberikan hal-hal yang terletak di luar tapal batas ini digunakan, logika analitik bukan hanya kehilangan daya penjelasnya, melainkan sesungguhnya juga dapat menjerumuskan kita ke dalam penyimpulan yang menyesatkan. Contoh kasus sebagaimana yang diperlihatkan oleh Chuang Tzu kepada kita dalam memaparkan Tao, bila berhadapan dengan persoalan yang tidak begitu kita ketahui dengan pasti, kita bisa menemukan hal-hal yang kita yakini dengan memanfaatkan logika sintetik untuk memperoleh wawasan yang dibutuhkan untuk mendukung keyakinan-keyakinan itu.
Istilah “analitik” dan “sintetik” telah dipakai oleh filsuf-filsuf dengan berbagai cara yang berbeda. Dalam waktu yang relatif lama, cara yang pada umumnya diterima pemakaiannya untuk menunjukkan dua metode argumentasi adalah cara penggunaan istilah-istilah ala Euklides. Akan tetapi, Kant mengembangkan cara baru penggunaan istilah-istilah tersebut, yang dengan demikian menunjukkan dua tipe proposisi yang berlainan. Menurut Kant, proposisi adalah analitik jika subyeknya “terkandung di dalam” predikatnya, sedangkan yang sintetik adalah yang subyeknya berada “di luar” predikatnya. Jadi, proposisi dalam ungkapan “Merah adalah warna” termasuk analitik, kategoris karena konsep “merah” masuk sebagai salah satu unsur konsep “warna”. Berdasarkan hal itu, proposisi “Kapur tulis ini putih” adalah sintetik, karena seseorang tidak akan mengetahui bahwa benda tersebut adalah “kapur tulis” jika hanya diberitahu bahwa kapur tulis itu putih (Palmquist, 2000). Menurut Palmquist (2000), Kant juga memberi beberapa pedoman lain yang lebih ketat untuk menentukan apakah suatu proposisi adalah analitik ataukah sintetik. Kebenaran proposisi analitik selalu bisa diketahui melalui logika saja. Jadi, jika makna kata-kata sudah diketahui, proposisi ini tidak informatif. Proposisi analitik mampu menjelaskan dirinya sendiri. Yang harus dilakukan hanyalah mengatakan “merah” dan bagi mereka yang memahami makna kata „merah‟ akan segera tahu bahwa pembicara sedang membicarakan warna. Seperti halnya penyimpulan deduktif yang baik, kebenaran proposisi analitik bersifat konseptual murni dan, karenanya, bersifat niscaya. Sebaliknya, kebenaran proposisi sintetik mensyaratkan pemanfaatan sesuatu yang lebih dari sekadar konsep. Seperti argumen induktif, pada proposisi sintetik terdapat pemanfaatan intuisi, yaitu keadaan faktual obyek. Akibatnya, proposisi sintetik selalu informatif dan kebenaran simpulannya tergantung pada keadaan obyek yang terus-menerus eksis. Jika misalnya seseorang memberitahu bahwa sepotong kapur tulis yang tersembunyi dalam genggaman tangannya itu putih, maka kebenaran pernyataannya tergantung pada apakah orang itu mengelabui pendengar atau berkata benar. Dewasa ini sebagian filsuf menduga bahwa terdapat begitu banyak proposisi yang sulit untuk dinyatakan sebagai analitik atau sebagai sintetik sehingga keseluruhan pembedaannya dianggap tidak berguna. Hal itu memang dapat terjadi jika konteks proposisi tidak berhasil diterapkan berdasarkan pedoman Kant dengan hati-hati. Kant
mengombinasikan pembedaan antara proposisi atau “penimbangan” analitik dan sintetik dengan suatu pembedaan lain, antara jenis pengetahuan “a-priori” dan “a-posteriori”. Pengetahuan “a-priori” ialah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman atau, yang ada sebelum pengalaman. Sebaliknya, sesuatu dianggap “a-posteriori” jika terjadi sebagai akibat pengalaman. Hal itu menghasilkan empat kemungkinan jenis pengetahuan, dua di antaranya non-kontroversial yaitu pengetahuan analitik a-priori yang secara sederhana adalah pengetahuan logis, dan pengetahuan sintetik analitik logis a-priori a-posteriori yang secara sederhana adalah pengetahuan empiris. Kant yakin, tidak ada pengetahuan analitik a-posteriori, namun istilah ini pada aktualnya memerikan suatu sintetik a-posteriori empiris kategori epistemologis yang amat penting. Mengklasifikasikan keyakinan hipotetis mengenai alam dengan cara tersebut secara signifikan mampu menyelamatkan penampakan, baik supaya tidak dipahami dengan bangga sebagai realitas hakiki atau pun supaya tidak dibuang lantaran diakui sebagai penampakan belaka. Kelompok pengetahuan sintetik a-priori banyak menarik perhatian Kant. Ia menyatakan bahwa semua pengetahuan transendental memiliki tipe seperti ini. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa pertanyaan “Bagaimana penimbangan sintetik itu a-priori?” merupakan pertanyaan sentral semua filsafat kritis. Pemakaian istilah-istilah itu sangat bermanfaat untuk memperbedakan antara dua jenis logika. “Logika analitik” adalah seluruh tubuh logika yang didasarkan pada prinsip-prinsip penalaran yang disusun oleh Aristoteles. Prinsipnya yang paling mendasar adalah hukum yang disebut “hukum kontradiksi”. Aristoteles menyatakan hukum ini di Categories dengan mengatakan bahwa suatu benda tidak mungkin “sesuatu” dan sekaligus “bukan sesuatu itu” dalam hal yang sama pada waktu yang sama. Dengan kata lain, mustahil bagi suatu benda untuk menjadi hitam dan sekaligus tidak hitam “A” dan sekaligus “-A”, dan sebagainya. Ungkapan simbolik tersederhana hukum ini adalah: “A bukan –A” atau “A ? -A” Pengaruh besar hukum ini terhadap filsafat selama 2300 tahun ini sangat menonjol. Padanya didasarkan hampir semua argumen yang telah diajukan oleh filsuf-filsuf Barat. Lagi pula, kita tidak akan mampu berkomunikasi satu sama lain tanpa mengasumsikan bahwa bila kita menggunakan suatu kata, kita ingin penyimak kita memikirkan benda
yang diacu oleh kata itu, dan bukan lawannya. Dengan demikian, deduksi dan proposisi analitik adalah dua aspek dari logika analitik. Di kedua kasus itu, keduanya dipasangkan dengan fungsi sintetik komplementernya: induksi dan proposisi sintetik. Selain itu, kebanyakan versi analisis linguistik menekankan pentingnya analisis, dan kebanyakan versi eksistensialisme, sintesis, hampir mengabaikan atau bahkan secara terang-terangan menolak makna penting kecenderungan lawanannya. Meskipun demikian, dengan adanya pertalian komplementer antara analisis dan sintesis, setiap kecenderungan tersebut saling bergantung untuk melanjutkan keberadaan masing-masing, karena merupakan kutub-kutub yang komplementer pada sebuah gerakan. Oleh sebab itu, menjelang akhir abad XX, kedua kecenderungan tersebut mulai gugur dan diganti secara bertahap oleh cara pikir lain, yakni hermeneutik (Sumaryono, 1993). Menariknya, tiga pendekatan utama terhadap filsafat itu semuanya menekankan tema umum: sentralitas bahasa pada pencarian filosofis. Unsur utama gerakan filosofis yang mendominasi filsafat yang berbahasa-tutur Inggris sepanjang abad XIX, dikenal sebagai “analisis linguistik”. Jalan filosofis ini juga disebut dengan nama-nama seperti “filsafat analitik”, “filsafat linguistik”, atau “filsafat bahasa”, bergantung pada preferensi filsuf yang bersangkutan. Akan tetapi, pada umumnya pendekatan ini menganggap analisis bahasa sebagai tugas mendasar filsuf. Cara yang cermat tentang bagaimana bahasa mestinya dianalisis, definisi yang tepat tentang apakah analisis itu, dan juga pembatasan yang tepat tentang apa yang terhitung sebagai bahasa, semuanya merupakan persoalan yang diperdebatkan secara terbuka di kalangan anggota-anggota aliran ini. Akan tetapi, di tengah semua perbedaan mereka, para analis linguistik disatukan oleh keyakinan bersama mereka bahwa persoalan filosofis harus didekati mula-mula dan terutama (jika bukan hanya) dari sudut pandang yang akar-akarnya pada bahasa manusia (Hidayat, 2006). Sebagiannya percaya bahwa dalam memegang keyakinan ini mereka merupakan pewaris sejati atas gagasan keterbatasan pengetahuan (yang dicanangkan oleh Kant) sampai pada pengertian bahwa gagasan “peralihan transendental” dalam berfilsafat disangka oleh banyak filosof saat ini sebagai sesuatu yang identik dengan “peralihan linguistik.”
IV. METODE ANALISIS DAN SINTESIS DALAM PENDEKATAN ILMIAH
Pada bagian awal penjelasan subtopik ini, ada baiknya dijelaskan dulu apa yang dimaksud dengan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah merupakan gabungan antara penalaran induktif dan deduktif. Kerlinger (1969) memberi definisi pendekatan ilmiah sebagai “penyelidikan yang sistematik, terkontrol dan bersifat empiris atas suatu relasi fenomena alam.” Sedangkan menurut Susilo (2009) pendekatan ilmiah adalah proses berpikir di mana kita bergerak secara induktif dari pengamatan menuju pembentukan hiptesis dan kemudian berbalik secara deduktif membuat verifikasi atas hipotesis kita tadi kepada penerapan logisnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa proses kerja dalam pendekatan ilmiah menimbulkan tiga sifat yang membedakannya dengan sumber pengetahuan dari pengalaman. Pertama, pendekatan ilmiah bersifat sistematis dan terkontrol karena menggunakan dua penalaran, yaitu induksi dan deduksi. Kedua, ia bersifat empiris yang menghendaki validasi atas semua keyakinan subjektif seseorang. Sedangkan yang ketiga, bersifat self-correcting yang berarti bahwa prosedur yang sistematis dan terkontrol tersebut memungkinkan seseorang terhindar dari kesalahan yang signifikan tatkala menggunakan proses pendekatan ilmiah ini untuk memecahkan masalah dalam kehidupan. Mengacu pada penjelasan di atas, muncul pertanyaan “Apakah temuan yang diperoleh melalui pendekatan ilmiah betul-betul sahih?” Jawaban pertanyaan ini tentu tidak mudah. Satu hal dari sekian hal yang ada yang dapat menjadi petunjuk bagi kita adalah pernyataan Bronowsky (1987) yang menyatakan bahwa pada kala Kepler, Copernicus, Galileo, dan Newton mengadakan berbagai temuan dalam kaitan dengan deskripsi kedudukan matahari dan planet kita di alam semesta, maka dalam mempertanggungjawabkan berbagai temuannya, yang mereka pikirkan terutama adalah kebenaran ilmunya. Untuk membangun kebenaran secara ilmiah, dilakukan kegiatan penelitian. Penelitian adalah suatu kegiatan yang menggunakan pendekatan ilmiah sebagai prinsip kerjanya. Penelitian merupakan suatu proses pencarian kebenaran melalui prosedur ilmiah dan biasa dikatakan sebagai kebenaran ilmiah yang objektif karena kesimpulan itu ditarik berdasarkan data empirik dengan prosedur yang sistematis serta
menggunakan pendekatan ilmiah. Dalam mencapai kebenaran ilmiah tersebut, kita harus melalui proses kegiatan penelitian yang secara umum bisa meliputi langkah berikut: (1) perumusan masalah, (2) pengumpulan data, (3) analisis data, dan (4) penarikan kesimpulan. Seorang peneliti dalam melakukan penelitian biasanya menggunakan paradigma, yaitu pendekatan positivisme empiris dan pendekatan konstruktivis/fenomenologis yang sering dikonotasikan masing-masing dengan orientasi kuantitatif dan kualitatif (Semiawan, 2007). Kedua paradigma tersebut sesuai dengan pengertiannya menunjuk pada suatu pola pikir yang merupakan suatu kerangka pikir konseptual (conceptual framework) berkenaan dengan teori tertentu dalam bidang riset yang dikonstruksikannya (Colman, 2001). Penjelasan berikut akan mengambil uraian yang disampaikan oleh Semiawan dalam bukunya Catatan Kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Semiawan,2007). Pada bahasan ini, penjelasan dalam buku tersebut diperlukan untuk implementasi metodologisnya agar kita tidak mencampuradukkan berbagai landasan filsafat ilmu yang berbeda. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa positivisme bersumber dari orientasi ilmu alam yang kajiannya diarahkan pada pengembangan teori. Riset seperti ini mendasarkan pengetahuan pada fakta yang dapat diamati secara langsung dan percaya bahwa secara ontologis hanya ada satu realitas tunggal. Para positivis percaya bahwa setiap riset bebas nilai dalam mempersoalkan aksiologi penelitian. Dalam kajian epistemologi hubungan antara yang hendak mengetahui (the knower) dan materi pengetahuan (the known) bersifat independen. Adanya hubungan sebab-akibat yang mendahului atau muncul bersamaan dengan efeknya adalah ciri lain dari paradigma positivistis. Pada umumnya para positivis lebih menekankan logika induktif atau mendasarkan kajiannya pada hipotesis a priori atau teori tertentu. Paradigma positivis yang paling terkenal adalah metode eksperimental. Dalam metode ini hipotesis dijabarkan secara logis dari teori mencakup suatu test dalam kondisi terawasi. Paradigma ini disebut scientific inquiry yang bersifat konvergen, tunggal, fragmentaris, indepeden, dan terfokus pada persamaan untuk dapat digeneralisasikan.
Kondisi yang terawasi ini melihat dunia sebagai kesatuan yang nyata yang merupakan proses yang berkelanjutan dan terbagi dalam seri subsistem yang berdiri sendiri dan fragmentaris serta disebut variabel. Penelitian ini menuntut homogenitas respons dalam kategori terbatas, dan sejumlah sampel besar. Karena pendekatan ini mencari hukum-hukum tertentu melalui perhitungan statistik berkenaan dengan kebermaknaan penelitian bagi responden, posisi pelaku riset dalam kaitan hubungan subjek-objek tidak diperkarakan. Sering hasil penelitian positivistis ini dalam praktiknya kurang bermanfaat bagi subjek penelitian. Sebaliknya, phenomenology adalah suatu metode penelitian ilmiah filosofis yang diperkenalkan oleh filsuf Jerman Edmund Husserl yang berkonsentrasi terhadap deskripsi pengalaman sadar dan secara umum mencakup metodologi penelitian kualitatif yang lebih menganalisis pengalaman mental dari pada perilaku nyata (Colman, 2001). Konstruktivisme adalah mazhab psikologi yang diperkenalkan oleh Jean Piaget kurang lebih 60 tahun yang lalu. Teorinya berkenaan dengan aktivitas mental untuk memperoleh gambaran yang eksak tentang kenyataan dunia serta merupakan modifikasi dari struktur atau proses psikologi dalam menghadapi tuntutan lingkungan. Prinsip konstruktivisme menuntut transformasi kualitatif dalam berbagai aspek yang diamatinya, yang merupakan konstruksi pengetahuan yang comes from within. Metode penelitiannya dilatarbelakangi oleh tradisi hermeneutis. Orientasi hermeneutis ini dilandasi oleh pengertian Verstehen, yaitu pemahaman kebermaknaan yang merupakan keterkaitan pengertian fenomena atau bagian tertentu dari keseluruhan yang bermakna. Vestehen adalah kondisi ontologis dari intersubjektivitas, bukan semata empati terhadap pengalaman orang lain, melainkan juga pengertian, yang termasuk kemampuan bahasa sebagai media organisasi kehidupan sosial manusia. Penelitian naturalistik berfokus pada sesuatu dengan cara berbeda, divergen dan jamak, dan mendeteksi interelasinya. Jadi, fokus inquiry naturalistik umumnya bersandar pada realitas jamak, sebagaimana lapis kulit sebuah bawang putih, saling melengkapi, meskipun dilihat dari perspektif yang berbeda dalam kenyataan (Guba dan Lincoln, 1985).
Penelitian ini menampilkan diri dalam berbagai bentuk kebenaran. Lapisan-lapisan tersebut secara intrinsik berinteraksi sehingga membentuk pola kebenaran. Pola-pola ini harus dijelajahi lebih jauh, bukan saja untuk dikendalikan, tetapi lebih-lebih lagi untuk dipahami, apalagi dalam situasi kelas di mana anak manusia sedang belajar. Paradigma inquiry naturalistik bertolak dari asumsi bahwa terjadi interaktivitas antara peneliti dan data, karena kolektor data adalah anak manusia yang terkena efek persepsi informasi yang dikembangkannya. Peneliti yang merupakan naturalistic inquirer bertolak dari pendapat bahwa kebenaran realitas yang bersifat jamak dan multidimensional bisa berubah dari konteks yang satu ke konteks yang lain. Ia juga memperhatikan berbagai interaksi yang kompleks antar individu yang berbeda-beda. Dalam kaitan pengertian belajar perubahan tersebut bersifat relatif permanen dikarenakan pengalaman yang diperolehnya dari lingkungannya yang selanjutnya diolah secara intrenal. Meskipun demikian, manusia memiliki realitas yang berbeda-beda dan adalah konstruktor dari pengetahuannya sendiri, sehingga hasil perubahan itu “comes from within.” Dari penjelasan di atas, sesuai dengan filsafat ilmunya, postitivisme tunduk kepada bukti kebenaran empirik. Positivisme berpikir analitik: mengurai segala sesuatu sampai unit sekecil mungkin. Dengan demikian, berpikir analitik menjadi sifat dominan dalam berpikir positivistik, dipilahkan atau dipisahkan secara jelas dengan sintesisnya. Pemilahan tersebut perlu ditata pada laporan hasil penelitian. Menurut Muhadjir (2007) biasanya bab IV karya skripsi, tesis, atau disertasi berisi laporan hasil analisis pengumpulan data dan hasil analisis data untuk membuktikan hipotesis atau pertanyaan penelitiannya. Barulah pada bab V dibuat sintesis atau kesimpulan serta saran hasil penelitian. Pada dasarnya memilahkan analisis dan sintesis pada yang kualitatif lebih sulit dari pada yang kuantitatif. Menurut Semiawan (2007), secara ontologis mazhab konstruktivisme dalam psikologi menyebut bahwa dunia sosial berubah terus-menerus, sehingga memerlukan aktor-aktor sosial untuk menangkap makna dari berbagai kejadian dalam dunia sosial. Ilmuwan yang mengadakan riset karenanya perlu terlibat secara aktif dalam konstruksi sosial. Untuk itu, diperlukan pendekatan riset yang berbeda, demikian juga pengumpulan datanya juga berbeda.
Dalam penelitian kualitatif, data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka. Data itu mungkin telah dikumpulkan dalam aneka macam cara (observasi, wawancara, intisari dokumen, pita rekaman), dan yang biasanya “diproses” kira-kira sebelum siap digunakan (melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan, atau alih tulis), tetapi analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata, yang biasanya disusun dalam teks yang diperluas. Proses analisis tersebut terdiri dari tiga jalur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Ini berarti dalam penelitian kualitatif analisis dan sintetis berjalan serentak. Sebaliknya, dalam penelitian kuantitatif peneliti mampu memilahkan analisis dan sintesis menjadi karakteristik penting penelitian positivistik. Tuntutan analisis yang rasional, objektif berdasar empiri penting dalam positivisme. Hasil analisis lalu diolah menjadi sintesis dan akhirnya menjadi kesimpulan hasil penelitian.
V. IMPLIKASINYA BAGI TEORI ILMIAH
Berhubung ilmu pengetahuan diperoleh secara sahih dan andal dengan suatu penyelidikan ilmiah, yaitu penelitian, maka ia merupakan sebuah proposisi yang timbul sebagai hasil dari kesimpulan suatu proses pencarian pengetahuan yang sistematis dan terkontrol. Proposisi inilah yang apabila terakumulasi akan menjadi teori ilmiah. Teori ilmiah didefinisikan sebagai “seperangkat konsep (konstruk), definisi, atau proposisi yang menggambarkan sebuah pandangan yang sistematis atas fenomena dengan cara memberi spesifikasi hubungan antar variabel yang tujuan akhirnya adalah memprediksi atau menerangkan sebuah fenomena tersebut.” Ada dua fungsi utama dari teori ilmiah, yaitu: mengorganisasikan temuan dari berbagai pengamatan dan penyelidikan yang tercecer sehingga sebuah kerangka teori yang bisa menjelaskan suatu fenomena, dan menjelaskan keterkaitan antar variabel, serta menjelaskan bagaimana sifat keterkaitannya. Melalui sebuah kerangka teori yang bisa dijelaskan, seorang ilmuwan bisa memberi prediksi dan kontrol terhadap suatu fenomena. Misalnya, dalam sebuah teori pengajaran bahasa, dikatakan bahwa terdapat hubungan signifikan antara minat baca anak dengan prestasi pemahaman bacaan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Dengan informasi dari teori ini seorang ahli pengajaran
bahasa bisa memprediksi prestasi membaca pemahaman anak didik dalam pelajaran bahasa Indonesia dengan cara mengetahui minat baca mereka. Setelah mengetahui informasi tersebut, selanjutnya ia bisa mengontrol prestasi anak didik tersebut dengan cara meningkatkan minat baca mereka agar prestasi membaca mereka dalam mata pelajaran bahasa Indonesia lebih baik.
VI. PENUTUP
Sebagai penutup ada beberapa hal yang dapat disimpulkan: 1. Secara umum, analisis didefinisikan sebagai suatu metode yang prosedurnya memecah suatu substansi menjadi bagian-bagian atau komponen-komponen. Sedangkan sintesis diartikan sebaliknya, yaitu menggabungkan elemen-elemen atau komponen-komponen yang terpisah menjadi suatu kesatuan yang koheren. 2. Metode analisis dan metode sintesis sangat berguna dalam membangun pengetahuan keilmuan. Pengetahuan keilmuan meliputi semua apa yang dapat diteliti dengan jelas atau dengan eksperimen sehingga bisa terjangkau oleh rasio atau otak dan panca indra manusia. 3. Ilmu pengetahuan diperoleh secara sahih dan andal dengan suatu penyelidikan ilmiah, yaitu penelitian, maka ia merupakan sebuah proposisi yang timbul sebagai hasil dari kesimpulan suatu proses pencarian pengetahuan yang sistematis dan terkontrol. Proposisi inilah yang apabila terakumulasi akan menjadi teori ilmiah
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Chaedar.. 2008. Filsafat dan Pendidikan. Bandung: Rosda Karya. Bronowsky, J. 1987. The Ascent of Man. Boston : Little Brown & Co.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia , Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Pustaka. Hidayat, A.A. 2006. Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung : Rosda Karya. Kattsoff, O. L. 2004. Pengantar Filsafat. (Alih Bahasa Soejono Soemargono). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Merriam-Webster Dictionary (2009) CD-ROM Version. Muhadjir, Noeng. 2007. Metodologi Keilmuan Paradigma Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Jogyakarta: Rake Sarasin. Palmquist, S. 2000. The Tree of Philosophy: A course of introductory lectures for beginning students of philosophy (Enlarged fourth edition, with Glossary and eight new lectures). Hong Kong: Philosophy Press, Hong Kong . Ritchey, T. 1996. Analysis and Synthesis. On Scientific Method – Based on a Study by Bernhard Rieman. (Downloaded from the Swedish Morphological Society: www.swedmorph.com) Russel, B. 1997. The Problems of Philosophy. New York: Oxford University Press. Semiawan, C. 2007. Catatan Kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group Sumaryono, E. (1993). Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta : Kanisius. Suriasumantri, S, Jujun. 2007. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Suriasumantri, S , Jujun. 2009. Ilmu Dalam Perspektif. (Sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Susilo. 2009. Prinsip dan Teori Dasar Penelitian Pendidikan. Jakarta: Poliya Widya Pustaka The Liang Gie. 2007. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Sudah disunting Juli 2011, SABARTI
0 comments: